Laporan : Panut
Wartawan Suara Desa
PONOROGO – Terlahir sebagai anak
gunung yang biasa disepelekan, diremehka, tak digubris bahkan dinilai negatif
oleh orang-orang kota, membuatku menjadi sosok yang harus kuat mengarungi
hidup. Alam menjadi motivasi untuk terus berusaha dan menjadikanku sosok yang
tak mudah menyerah.
Tahun 1975, bermodal ijasah yang
kudapat dari SMA Negeri 1 Ponorogo, menjadikan semakin yakin akan tujuan hidup.
Elemen alam, angin, api da air menjadi elemen yang kuanggap menggambarkan dasar
jiwa kehidupanku. Menyadari bahwa perbedaan adalah keindahan yang mampu membuat
kita semakin kuat.
Jelas secara tegas kusampaikan,
Pancasila menjadi landasan hidupku dalam bernegara dan bermasyarakat. Tahun
1981 menjadi titik balik kehidupanku, ketika kehidupan memaksaku harus pergi
merantau ke ibu kota, Jakarta.
Sosok-sosok yang telah kuanggap
sebagai guru alamku, akan kusebutkan disini satu per satu. Sekalipun tak bisa
kusebut semuanya, tapi karena sosok-sosok inilah, jejak intelektual, spiritual
dan mentalku masih terbaca sebagai bagian dari hidup yang kuarungi sekarang.
Mereka yang menjadi guru alam-ku.
Orang-orang yang berjasa dan akan selalu kuingat dalam sanubari. Gubernur
Suprapno, Walikota Jakbar Rukiat Soleh, Gubernur Basuki Sudirman, Nanik
Sudarsono, Drs. Gatot Subroto, Jendral Try Sutrisno, Salamun AT, Sri Bintang
Pamungkas, Sumitro Joyo Hadikusuma, Ika Negara, WS Rendra, Adnan Buyung
Nasution dan banyak tokoh-tokoh lintas sektoral lainnya yang tak mampu kusebut
satu per satu. Terima kasih semuanya.
Merantau dan menempah diri di Jakarta
kujadikan tambahan modal penyemangat. Tahun 1995, angin membawaku pulang
kampung. Pencarian jati diriku dimulai bersama Sugeng Prawoto. Bu Ida, Wakil
Bupati Ponorogo kala itu, seolah memungutku dari tempat sampah, membawaku ke
sela-sela lingkungan tokoh-tokoh besar di daerah.
Akung Markum Ingo Dhimejo, Abah
Tobroni menjadi guruku memberi pelajaran berharga dalam kepemimpinan. Tahun
2004, Gedung Lantai 8 berdiri megah menjadi saksi elemen angin, air, api
menyatu menggiring Mbah Imam Tunggak merubah nuansa langit cakrawala alam
Ponorogo.
Tahun 2009, langkahku teruji. Ayahku,
Muh. Hadi Suryono berpulang, semakin membuatku menyadari bahwa langkah hidup
harus segera bermanfaat karena usia manusia tak pernah bisa ditebak. Tahun
2014, suara rakyat di pedesaan mengantarkan kemenangan Iphong Mukhlis Soni dan
Jarno memimpin bumi Ponorogo. Keikhlasan dan kejujuran rakyat telah terpatri
menjadi janji untuk membalasnya dengan pengabdian membawa kedamaian,
kesejahteraan dan keselamatan bagi rakyat Ponorogo. Dalam batinku, mawar merah
akan selalu setia menjaga biarpun tak sekalipun ia menyapa.... (PAN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar