Rabu, 11 Oktober 2017

Menjadi Satu, Melebur Dengan Alam Memimpin Bumi Ponorogo




Laporan : Panut
Wartawan Suara Desa                 

PONOROGO – Terlahir sebagai anak gunung yang biasa disepelekan, diremehka, tak digubris bahkan dinilai negatif oleh orang-orang kota, membuatku menjadi sosok yang harus kuat mengarungi hidup. Alam menjadi motivasi untuk terus berusaha dan menjadikanku sosok yang tak mudah menyerah.
Tahun 1975, bermodal ijasah yang kudapat dari SMA Negeri 1 Ponorogo, menjadikan semakin yakin akan tujuan hidup. Elemen alam, angin, api da air menjadi elemen yang kuanggap menggambarkan dasar jiwa kehidupanku. Menyadari bahwa perbedaan adalah keindahan yang mampu membuat kita semakin kuat.
Jelas secara tegas kusampaikan, Pancasila menjadi landasan hidupku dalam bernegara dan bermasyarakat. Tahun 1981 menjadi titik balik kehidupanku, ketika kehidupan memaksaku harus pergi merantau ke ibu kota, Jakarta.
Sosok-sosok yang telah kuanggap sebagai guru alamku, akan kusebutkan disini satu per satu. Sekalipun tak bisa kusebut semuanya, tapi karena sosok-sosok inilah, jejak intelektual, spiritual dan mentalku masih terbaca sebagai bagian dari hidup yang kuarungi sekarang.
Mereka yang menjadi guru alam-ku. Orang-orang yang berjasa dan akan selalu kuingat dalam sanubari. Gubernur Suprapno, Walikota Jakbar Rukiat Soleh, Gubernur Basuki Sudirman, Nanik Sudarsono, Drs. Gatot Subroto, Jendral Try Sutrisno, Salamun AT, Sri Bintang Pamungkas, Sumitro Joyo Hadikusuma, Ika Negara, WS Rendra, Adnan Buyung Nasution dan banyak tokoh-tokoh lintas sektoral lainnya yang tak mampu kusebut satu per satu. Terima kasih semuanya.
Merantau dan menempah diri di Jakarta kujadikan tambahan modal penyemangat. Tahun 1995, angin membawaku pulang kampung. Pencarian jati diriku dimulai bersama Sugeng Prawoto. Bu Ida, Wakil Bupati Ponorogo kala itu, seolah memungutku dari tempat sampah, membawaku ke sela-sela lingkungan tokoh-tokoh besar di daerah.
Akung Markum Ingo Dhimejo, Abah Tobroni menjadi guruku memberi pelajaran berharga dalam kepemimpinan. Tahun 2004, Gedung Lantai 8 berdiri megah menjadi saksi elemen angin, air, api menyatu menggiring Mbah Imam Tunggak merubah nuansa langit cakrawala alam Ponorogo.
Tahun 2009, langkahku teruji. Ayahku, Muh. Hadi Suryono berpulang, semakin membuatku menyadari bahwa langkah hidup harus segera bermanfaat karena usia manusia tak pernah bisa ditebak. Tahun 2014, suara rakyat di pedesaan mengantarkan kemenangan Iphong Mukhlis Soni dan Jarno memimpin bumi Ponorogo. Keikhlasan dan kejujuran rakyat telah terpatri menjadi janji untuk membalasnya dengan pengabdian membawa kedamaian, kesejahteraan dan keselamatan bagi rakyat Ponorogo. Dalam batinku, mawar merah akan selalu setia menjaga biarpun tak sekalipun ia menyapa.... (PAN)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tak Terima Kalah, Massa Mengamuk Bentrok Dengan Polisi

Laporan - Abi Cris/Irwanto Wartawan SUARA DESA MAJALENGKA - Kepolisian Resor (POLRES) Majalengka gelar simulasi pemgamanan dal...